Sabtu, 27 September 2014

Mengintip Permukiman Kumuh �Rooftop Villages� di Hong Kong

Foto : Rufina Wu dan Stefan Canham
Di Jakarta, Anda mungkin terbiasa melihat permukiman kumuh berlokasi di pinggir-pinggir sungai, stasiun kereta, atau di bawah naungan jalan tol. Namun di Hong Kong, permukiman kumuh yang biasa disebut Rooftop Villages alias 'Rumah Atap' itu tersembunyi di jalan-jalan di atas atap gedung pencakar langit. 



Ya, Hong Kong adalah kota yang penduduknya paling padat seantero Cina, sekaligus salah satu kota dengan biaya hidup mahal di dunia. Berikut adalah sejumlah dokumentasi yang menunjukkan tampilan surealis di atap-atap gedung tinggi di Hong Kong. 

Buku berjudul Portraits From Above mendokumentasikan serangkaian desa mikro informal di Hongkong dengan diagram yang rinci, plus cerita-cerita kehidupan terlarang di dalamnya. Tempat tinggal nonkonvensional ini kadang terbuat dari lembaran logam dan kayu bekas, juga plastik, batu bata yang sudah rusak, serta penuh dengan lorong-lorong sempit di antaranya.

Salah satu isu lingkungan yang menyertai keberadaan rumah atap itu adalah pengelolaan limbah. Tak ada yang menjamin kemana penghuni-penghuni rumah kumuh ini membuang sampah dan limbah rumah tangganya.

Meski tinggal di pinggiran, penduduk rumah atap di Hong Kong memiliki ikatan sosial yang kuat antara penghuninya. Penulis buku, Stefan Canham dan Rufina Wu berusaha memelajari lebih lanjut bagaimana orang-orang di dalamnya hidup dan mengelola akomodasi untuk kesehariannya. Salah satu kawasan rumah atap yang sudah dibubarkan adalah Kowloon Walled City.


Ketika menelusuri rumah atap ini, Stefan dan Rufina mengaku mereka terpaksa berjalan kaki menaiki lantai demi lantai, tangga demi tangga, lorong-lorong, labirin, di antara gubuk-gubuk sempit di kawasan itu. Tidak ada lift di sana.




Di atas atap itu hidup sebanyak 40 keluarga, tak ada yang menyangka bahwa ada kampung di puncak gedung tinggi itu. Bahkan, ada warga yang sudah hidup 20 hingga 30 tahun di atas sana. Itu karena mereka tak mampu membeli rumah. Semuanya takut ditempatkan di lokasi-lokasi satelit. Beberapa warga sudah makan asam garam sejarah Hong Kong, hingga gejolak politik di Cina untuk tetap bertahan di sana.



Sumber: Weburbanist

Tidak ada komentar:

Posting Komentar